Kala Jokowi mengurai ucapan: Kopiah
dan baju koko terkesan relijius. Ucapan ini saya penggal, saya buru
esensinya. Tiada secuilpun ketersinggunganku dengan artikulasi Jokowi
ini. Saya malah merenung. Saya justru tak simpati atas usulan sebagian
kalangan agar Jokowi minta maaf. Tiada argumentasi sedikitpun Jokowi
harus mohon maaf.
Sumber gambar : tribunnews.com
Siapapun yang menyuarakan ini tidak
wajib minta maaf. Idealnya, kitalah yang wajib berterima kasih kepada
orang ini sebab ia telah mengingatkan kepada kita yang suka memakai
pakaian religius seolah-olah user-nya religy automatic.
Faktanya, tiada jaminan lagi
sang jilbab menjaga pemiliknya dari perbuatan tercela. Tiada juga
garansi kopiah, baju koko atau songkok haji terhadap perilaku sang
pemakai. Kenapa harus tersinggung?. Lihat saja artis-artis kita di
bulan ramadhan, pakaian mereka sangat religius kok. Tapi kelakuan
orisinilnya sebagian kamuflase dan memperjual belikan kerelejiusan
dengan labelisasi pakaian. Sebab agama di jaman ini terkesan labelisasi
kok.
Jika ada orang relijius
tersinggung dengan pernyataan Jokowi ini maka ia sesungguhnya bukanlah
seorang relijius. Seloroh itu justru sebuah dakwah, si’ar, peringatan
dan menyuruh kita berhati-hati dalam berpakaian, tak gampang
menggunakan songkok haji kok, koko atau semacamnya. Syarat utamanya
harus linear, bukan sebagai embel-embel. Tuh banyak orang bergelar haji
dan memasang songkok haji di kepalanya dan menutupi ubun-ubunnya dari
segala rayuan dan bisikan syaitan durjana, tapi toh ia malah memperkosa
hak-hak orang, korup dan ucapannya tak relijius. Jauh dari sami’na wa
atha’na.
Orang-orang yang suka memakai
songkok haji, tapi tak sesuai perilaku kehajiannya adalah HAJI MEONG.
Tahu kan cerita menarik haji Meong. Itu tuh, sekumpulan kucing yang
berpenampilan baik kepada para tikus-tikus. Kucing-kucing ini
mengumumkan kepada para tikus bahwa sang kucing sudah insyaf dan tak
mau memakan lagi sang tikus.
Sang Tikuspun bertanya: “Hei Kucing, apa buktinya engkau insyaf?”
Sang Meong menjawab: “Saya sudah tobat dan saya mau naik tanah suci. Doakan kami agar haji mabrur yah”.
Sang Tikus senang sekali atas
pernyataan si kucing. Singkat cerita, kucing naik tanah suci dan
diantar oleh si mouse and family. Pulangpun dijemput di bandara. Duh
senangnya sang tikus lihat perilaku sang kucing yang benar-benar
berubah.
Namun sebulan kemudian, sang
tikus habis dimakan sang kucing yang baru saja naik tanah suci itu.
Hanya tersisa seekor tikus yang lolos dari cengkaraman sang kucing.
Tikus ini berkata dengan penuh penyesalan:
“Dari dulu memang saya tak
percaya kucing, saya tak percaya janji-janjinya, tak percaya
kata-katanya. Inilah akibatnya mempercayai kucing yang kelakuan
permanennya doyan memangsa tikus”.
Naik hajinya sang kucing
hanyalah modus operandi, sebuah kedok yang harus dilakukan agar rakyat
tikus percaya pada kebaikannya. Padahal ini hanyalah sebuah skenario
kejahatan yang tertunda.
* * *
Penguasa berbaik-baik setiap
kali PILKADA, sangat rajin bersilaturrahmi, rajin ke panti-panti
asuhan, panti-panti jompo, berkata semua ini untuk rakyat. Tapi
waspadalah, setelah ia terpilih dan bertahta. Kalian siap-siap saja
akan diterkam. Terkamannya itu bernama pencurian uang rakyat, studi
banding, pajak ditilep, proyek jalan abal-abal yang mudah rusak,
lobang-lobang dan berkubang.
* * *
Saya bukanlah pendukung Jokowi,
dan tak memihak ke siapa-siapa. Namun ucapan Jokowi ini adalah tamparan
terhadap saya, tamparan untuk self efficacy, memeriksa diri, dan
meraba-raba perilaku saya dan kita selama ini.
Mumpung kita belum mati, belum dimandijenazahkan, belum dikafani. Tiada salahnya ucapan ini kita renungkan sobat….!!!
Oleh : Muhammad Armand
Mengajar di Universitas Hasanuddin, Makassar-Sulawesi Selatan